Rabu, 02 September 2015

SANG KIAI DI DALAM HATI



Pagi ini saya baru selesai menonton sebuah film yang sangat bagus, yaitu film Sang Kiai. Mungkin dari sekian orang, hanya saya yang terlambat untuk mengapresiasi film ini. Hal ini sangat beralasan karena ketika film ini dirilis  awal 2014 lalu saya belum sempat untuk menonton di bioskop atau pun di televisi. 

Baiklah, tentang film ini dan tentang tokoh utama dalam film ini. Kata pertama yang ada dalam pikiran saya ketika menonton film ini adalah sakral. Bagaimana tidak, seorang ulama atau kiai begitu dihormati di kalangan santri dan pengikut-pengikutnya. Penghormatan yang dilakukan santri itu dalam bentuk cium tangan, berbicara dengan halus dan menundukkan kepala, dll. Hal ini menunjukkan betama terhormatnya sosok utama dalam film ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.


Selain itu, kata kedua yang ada dalam benak saya adalah mulia. Betapa tidak, ketika ada seorang bapak miskin dan tak mempunyai harta ingin memasukkan anaknya ke pesantren, dengan senang hati Sang Kiai menerimanya. Sungguh mulianya beliau hingga harta pun tak menjadi persolan untuk membagi ilmu kepada muridnya, dalam hal ini adalah ilmu agama. Selain itu, meskipun beliau adalah seorang Kiai yang notabennya lebih tinggi derajatnya, tetapi beliau tetap rendah hati dan juga menghormati orang lain dan santrinya. Kemudian, yang paling terkesan adalah ketika Jepang semakin menyiksa rakyat, beliau berkata, “kita harus lebih lembut kepada Jepang”. Bukannya membalas dengan kekerasan, tetapi beliau membalasnya dengan sikap yang lembut.

Selain pandai dalam bidang kerohanian, beliau juga bijaksana dalam memimpin. Terbukti ketika beliau berjuang sekuat tenaga dan pikiran untuk memerdekakan Indonesia. Meskipun dengan beberapa keputusan beliau yang kontroversial dan dianggap pro terhadap Jepang, tetapi beliau mempunya rencana dan niat baik untuk kepentingan bersama. Selain itu, sebagai seorang pemimpin yang baik, beliau tetap menampung segala masukan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Yang paling membuat sedih dan tidak tega adalah ketika Sang Hadratussyaikh disiksa oleh tentara Jepang. Badannya yang lemah dan sudah tua itu dipukul, kakinya juga ditendang, dan tangannya dipukul dengan palu hingga berdarah. Hati ini menangis dan tak tega melihatnya. Sungguh begitu luar biasanya pengorbanan beliau untuk santri, pengikut, dan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Di penghujung film ini diceritakan saat-saat terakhir beliau menjelang ajalnya. Di saat-saat terakhir, beliau ingin ikut turun di medan perang langsung dan memegang senjata melawan penjajah. Namun apa daya ketika tubuh tuanya yang renta tak mendukungnya. Beberapa saat kemudian, hati ini kembali terharu dan terenyuh ketika melihat kepulangan beliau yang sungguh indah. Beliau meninggal ketika duduk dan sedang berdialog  dengan seorang tamu. Semua santri, pengikut, bahkan rakyat Indonesia pun menangis karena mengetahui bahwa Sang Kiai mereka telah berpulang kepada kekasihnya. Seketika itu bercucurlah air mata ini.

Saya memang tak bisa merasakan seperti apa kelembutan kulit beliau. Saya juga tidak pernah melihat seperti apa ketampanan wajah beliau. Dan saya juga tidak pernah bertemu dengan beliau karena memang saya tidak hidup di zamannya. Namun saya bisa mengenal lebih dekat beliau dengan cara mempelajari sejarah beliau, menghargai hasil perjuangan beliau, dan dengan mengikuti pitutur luhur beliau. Mungkin fisik beliau sudah tiada, namun keteladanan mulia beliau akan selalu ada dalam hati ini.
                                                                                                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar