Pagi ini saya baru selesai menonton
sebuah film yang sangat bagus, yaitu film Sang Kiai. Mungkin dari sekian orang,
hanya saya yang terlambat untuk mengapresiasi film ini. Hal ini sangat
beralasan karena ketika film ini dirilis
awal 2014 lalu saya belum sempat untuk menonton di bioskop atau pun di
televisi.
Baiklah, tentang film ini dan
tentang tokoh utama dalam film ini. Kata pertama yang ada dalam pikiran saya ketika
menonton film ini adalah sakral. Bagaimana tidak, seorang ulama atau kiai
begitu dihormati di kalangan santri dan pengikut-pengikutnya. Penghormatan yang
dilakukan santri itu dalam bentuk cium tangan, berbicara dengan halus dan
menundukkan kepala, dll. Hal ini menunjukkan betama terhormatnya sosok utama
dalam film ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
Selain itu, kata kedua yang ada
dalam benak saya adalah mulia. Betapa tidak, ketika ada seorang bapak miskin
dan tak mempunyai harta ingin memasukkan anaknya ke pesantren, dengan senang
hati Sang Kiai menerimanya. Sungguh mulianya beliau hingga harta pun tak
menjadi persolan untuk membagi ilmu kepada muridnya, dalam hal ini adalah ilmu
agama. Selain itu, meskipun beliau adalah seorang Kiai yang notabennya lebih
tinggi derajatnya, tetapi beliau tetap rendah hati dan juga menghormati orang
lain dan santrinya. Kemudian, yang paling terkesan adalah ketika Jepang semakin
menyiksa rakyat, beliau berkata, “kita harus lebih lembut kepada Jepang”.
Bukannya membalas dengan kekerasan, tetapi beliau membalasnya dengan sikap yang
lembut.
Selain pandai dalam bidang
kerohanian, beliau juga bijaksana dalam memimpin. Terbukti ketika beliau
berjuang sekuat tenaga dan pikiran untuk memerdekakan Indonesia. Meskipun dengan
beberapa keputusan beliau yang kontroversial dan dianggap pro terhadap Jepang,
tetapi beliau mempunya rencana dan niat baik untuk kepentingan bersama. Selain itu,
sebagai seorang pemimpin yang baik, beliau tetap menampung segala masukan
orang-orang yang ada di sekitarnya.
Yang paling membuat sedih dan
tidak tega adalah ketika Sang Hadratussyaikh disiksa oleh tentara Jepang. Badannya
yang lemah dan sudah tua itu dipukul, kakinya juga ditendang, dan tangannya
dipukul dengan palu hingga berdarah. Hati ini menangis dan tak tega melihatnya.
Sungguh begitu luar biasanya pengorbanan beliau untuk santri, pengikut, dan
rakyat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di penghujung film ini
diceritakan saat-saat terakhir beliau menjelang ajalnya. Di saat-saat terakhir,
beliau ingin ikut turun di medan perang langsung dan memegang senjata melawan
penjajah. Namun apa daya ketika tubuh tuanya yang renta tak mendukungnya. Beberapa
saat kemudian, hati ini kembali terharu dan terenyuh ketika melihat kepulangan
beliau yang sungguh indah. Beliau meninggal ketika duduk dan sedang
berdialog dengan seorang tamu. Semua santri,
pengikut, bahkan rakyat Indonesia pun menangis karena mengetahui bahwa Sang
Kiai mereka telah berpulang kepada kekasihnya. Seketika itu bercucurlah air
mata ini.
Saya memang tak bisa merasakan seperti
apa kelembutan kulit beliau. Saya juga tidak pernah melihat seperti apa ketampanan
wajah beliau. Dan saya juga tidak pernah bertemu dengan beliau karena memang saya tidak
hidup di zamannya. Namun saya bisa mengenal lebih dekat beliau dengan cara
mempelajari sejarah beliau, menghargai hasil perjuangan beliau, dan dengan
mengikuti pitutur luhur beliau. Mungkin fisik beliau sudah tiada, namun keteladanan
mulia beliau akan selalu ada dalam hati ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar