“Jika ia mencintai batu maka ia
adalah batu. jika ia mencintai manusia maka ia adalah manusia. Jika ia
mencintai Tuhan, maka aku tidak bisa menjawab. Aku khawatir jika aku
menjawabnya kalian akan melempariku dengan batu“. Demikian gambaran
bagaimana rahasia dan tingginya ajaran tasawuf hingga tidak jalan lain
bagi penganut tasawuf jika membuka ajaran tersebut di muka publik
kecuali dimusuhi dengan umat yang tidak mengetahui dan mengenal tasawuf.
Sebenarnya kemunculan tasawuf sejalan dengan tabligh Nabi Muhammad
saw kepada manusia di Arab. Namun ajaran tasawuf ini diajarkan Nabi
Muhammad khusus kepada beberapa sahabatnya yang memiliki tingkat
spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan sahabat lainnya, seperti
Ali kwh, dan sebagainya. Tidak semua sahabat beliau yang diajarkan
tentang ajaran tasawuf ini, mengapa? jawabnya adalah bukankah nabi Musa
as sebagai simbol eksoteris tidak dapat mengikuti “alur pikir” Khidr,
simbol pembawa pesan esoteris. Demikian juga dengan para sahabat nabi,
tidak semua dapat menjangkau ketinggian ajaran ini. Mungkin ini adalah
salah satu alasan mengapa ajaran tasawuf belum banyak diketahui saat
itu.
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tradisi tasawuf ini sudah ada sejak Nabi saw hidup, misalnya:
- Nabi Muhammad: Aku adalah orang ‘Arab dengan tanpa huruf ‘ayn (rab), dan Ahmad dengan tanpa huruf mim (ahad). Barang siapa yang yang telah melihatku, maka ia telah melihat Haqq.
- Dalam suatu riwayat dikisahkan suatu ketika Aisyah memasuki kamarnya. Nabi yang waktu itu di dalam, bertanya: “Siapa kau?”. “Putri Abu Bakar”, jawabnya. “Siapa Abu Bakar?” tanya beliau. Saat itu barulah Aisyah menyadari bahwa Nabi sedang dalam keadaan yang berbeda.
- Nabi Muhammad: Seandainya Abu Dzar mengetahui apa yang tersembunyi di hati Salman, maka dia pasti bakal membunuhnya.
- Ali: “Aku mempunyai sejenis pengetahuan dalam batinku, yang bila saja aku membukanya pada orang banyak, niscaya engkau akan gemetar seperti tali panjang yang dijulurkan ke dalam sumur yang amat dalam“. Dalam riwayat lain diriwayatkan melalui Abu Hurairah dengan perbedaan redaksi. Kemungkinan besar Abu Hurairah tidak menyebutkan nama Ali sebagai narasumbernya sebagaimana yang terjadi pada riwayat-riwayat dari Abu Hurairah biasanya.
- Pada hari Thaif Rasulullah SAW berbicara berdua saja dengan Ali, maka sebagian sahabat berkata “Lama sekali pembicaraan beliau dengan anak pamannya”. Ketika disampaikan pada Rasul, Beliau SAW berkata “Bukan aku yang berbicara dengannya tetapi Allah yang berbicara dengannya”.
- Suatu hari sesudah menunaikan shalat, Nabi melihat seorang pemuda (Haritsah bin Malik bin Nu’man al-Anshari?) yang lemah dan kurus, wajahnya pucat, matanya cekung serta berjalan gontai dan susah payah. Nabi pun lantas bertanya: “Siapakah engkau?” “Aku telah meraih tingkat keimanan tertentu,” jawabnya. “Apa tanda-tandanya?” tanya Nabi. Dia menjawab, “Keimananku itulah yang membuatku sedih, yang menyebabkanku bangun malam dan membuatku senantiasa haus di siang hari (lantaran puasa). itulah yang membuatku lupa akan segala sesuatu di dunia ini. Aku melihat seolah-olah Arsy Allah ditegakkan untuk menghitung amal-amal manusia yang dikumpulkan di padang mahsyar dan aku termasuk salah seorang di antara mereka. Aku melihat para penghuni surga bergembira dan berbahagia, dan para penghuni neraka sedang diazab dan disiksa. bahkan, sekarang ini, telingaku seakan-akan mendengar gelegak api neraka yang demikian dahsyat.” Nabi pun berpaling kepada sahabat-sahabatnya dan bersabda, “Dia adalah salah seorang yang hatinya telah diterangi Allah dengan cahaya keimanan.” Kemudian beliau menoleh kepada pemuda itu dan bersabda, “Pertahankan keadaanmu seperti sekarang ini, jangan sampai keadaan ini sirna.” Pemuda itu pun menyahut, “Wahai Rasulullah! Tolong doakan aku agar Allah menganugerahkan kesyahidan kepadaku.” Tak lama setelah pertemuan ini, terjadilah peperangan. Pemuda itu kemudian ikut perang dan gugur sebagai syahid.
- dan berbagai riwayat lainnya seperti percakapan Imam Ali dengan sahabatnya Kumayl tentang Wali Tuhan yang ada di setiap zaman.
Tatkala Nabi saw wafat, Saidina Abu Bakar meneruskan tali estafet
spiritual sentral dari Nabi, meskipun sahabat Nabi lain juga meneruskan
dakwah Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar memiliki keunggulan
yang diakui oleh sahabat-sahabat lain. Abu Bakar bukan hanya memegang
kekhalifahan dunia akan tetapi juga kekhalifahan kerohanian. Saidina Ali
adalah sahabat Nabi yang juga meneruskan kepemimpinan kerohanian dari
Nabi. Keyakinan akan keunggulan dan afdhaliyah Imam Ali as. di atas para
sahabat lainnya telah diyakini sebagian sahabat besar seperti Salman
al-Farisi, Abu Dzar al-Ghiffari, al-Miqdad bin al-Aswad, Khabbab, Jabir
ibn Abdillah al-Anshari, Abu Said al-Khudri, Zaid bin Arqam, dkk. Hal
ini dapat juga dilihat dari hampir semua sanad tarikat menyambung
melalui pribadi Ali kwh. satu-satunya sahabat yang pernah berkata
“Bertanyalah kepadaku”, bahkan tentang sesuatu sampai hari kiamat. Dalam
masa ini tasawuf masih belum begitu kentara atau terekspos dalam
sejarah. Kemungkinan riwayat-riwayat tentang tasawuf kalah marak dengan
riwayat tentang masalah suksesi kepemimpinan setelah Nabi Muhammad saw
wafat, masalah hukum fiqh yang menjadi aspek penting dalam kehidupan
umat Islam, dan masalah-masalah lain dalam menyatukan umat Islam yang
baru saja ditinggalkan Nabi Muhammad saw. Namun beberapa riwayat yang
patut diketahui misalnya riwayat terakhir di atas.
Seiring dengan berjalannya waktu, tasawuf mulai lebih dikenal pada
masa para raja dinasti Islam melakukan berbagai kemajuan dalam Islam,
mulai dari penyebaran agama Islam, kemajuan ekonomi, penyerapan ilmu
pengetahuan, filsafat dan teknologi. Beberapa latar belakang yang
memungkinkan tasawuf mulai dikenal misalnya: kebobrokan moral dan
spiritual yang marak seiring dengan kemajuan ekonomi dan kemaksiatan
yang merajalela. Kekeringan spiritual tersebut semakin bertambah parah
sejalan dengan semakin eksisnya ajaran fiqih yang lebih menekankan pada
aspek-aspek lahiriyah dan saling menyalahkan dan memusuhi antar pemeluk
mazhab. Selain itu masalah lainnya adalah masuknya filsafat dalam
tradisi Islam. Wilayah Islam yang semakin luas menjadi jalan masuk bagi
filsafat, cara berpikir wilayah lain dalam tradisi pemikiran Islam.
Filsafat Yunani, Persia menjadi salah satu bagian ilmu pengetahuan dalam
tradisi umat Islam sehingga memunculkan para filosof Muslim dan ahli
kalam yang pada akhirnya filsafat menjadi bintang dalam tradisi Islam.
Mereka menggunakannya untuk menjawab segala persoalan yang ada, termasuk
tentang Tuhan dan masalah yang berhubungan dengan-Nya.
Pertumbuhan tasawuf yang awal masih minim dengan istilah-istilah
asing. Semua penjelasan tasawuf masih sederhana. Namun tatkala filsafat
mulai masuk dalam tradisi Islam, istilah-istilah asing mulai
dimunculkan. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana jalan
hidup bertasawuf, menjelaskan ‘perasaan’ para sufi kepada para
murid-murid yang baru memulai perjalanan mistik. Tasawuf juga
mengajarkan bahwa untuk ‘menjumpai’ Tuhan bukanlah dengan akal filsafat
sebagaimana yang marak saat itu. Tasawuf pulalah yang mengisi kekosongan
aspek moral spiritual yang tidak diajarkan dalam hukum fikih saat itu
yang hanya mengajarkan dan berdebat tentang aspek-aspek lahiriyah
semata.
Namun diterimanya tasawuf di tradisi Islam, bukan tanpa aral.
Sebagian tokoh, terutama kalangan ulama fikih menganggap tasawuf bukan
dari ajaran Islam, tasawuf ajaran sesat, meninggalkan syariat dan
sebagainya. Namun semua tuduhan tersebut terbantahkan, banyak ayat-ayat
Qur’an yang menunjukkan kebenaran tasawuf. Semua para sufi besar
menempatkan al-Qur’an dan hadis Nabi sebagai landasan mereka. Hanya saja
mereka, kelompok penentang tasawuf tidak memahami ajaran tersembunyi
dalam al-Qur’an sehingga mereka menentang tasawuf. Bukankah Nabi pernah
bersabda: “al-Qur’an mempunyai makna lahir dan batin“. Rumi juga menuliskan bahwa: “al-Qur’an
adalah pengantin wanita yang memakai cadar dan menyembunyikan wajahnya
darimu. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan,
itu disebabkan caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri,
sehingga tampak olehmu ia berwajah buruk. Ia mampu menunjukkan wajahnya
dalam cara apapun yang disukainya. apabila engkau melakukan apa-apa yang
disukainya dan mencari kebaikan darinya, maka ia akan menunjukkan wajah
yang sebenarnya, tanpa perlu kau buka cadarnya“.
Mengenai tuduhan bahwa sufi meninggalkan syariat merupakan tuduhan
yang tidak berdasar. Para tokoh sufi memegang syariat dengan kuat,
bahkan lebih teguh daripada para penentangnya. Lihatnya saja bagaimana
Abu Yazid al-Bustami – yang pernah ekstase dan mengucapkan “Subhani, subhani, Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada lagi tuhan selain Aku, maka menyembahlah kepada-Ku“,-
tidak pernah meludah di tanah di dekat Masjid, tidak pernah makan buah
melon karena ia tidak tahu bagaimana sunnah Nabi Muhammad saat
memakannya, Bahkan salah satu perintah Tuhan yang difirmankan kepadanya,
“Untuk keluar dari keakuanmu, ikutilah kekasih kita, Muhammad orang
Arab. Lumurilah matamu dengan debu kakinya dan teruslah mengikuti dia“.
Lihat juga berapa rakaat shalat sunah yang al-Hallaj si Hulul dirikan
di dalam penjara sebelum penyalibannya. Bahkan dalam keadaan disalib
dan mendekati ajalnya, Al-Hallaj menyuarakan do’a pada Allah, “Wahai
Tuhan, mereka semua yang sedang berkumpul di sini adalah hamba-hambamu
yang mencoba membunuhku demi kefanatikannya terhadap agama-Mu, dan juga
dengan alasan untuk mendekatkan diri mereka kepada-Mu. Oleh karenanya,
ampunilah mereka semua. Seandainya Kau singkapkan pengetahuan kepada
mereka sebagaimana yang Kau anugerahkan padaku, niscaya mereka tidak
akan bertindak sebagaimana yang dilakukannya padaku ini“. Begitu
pula dengan Ibn ‘Arabi sang Wahdah Wujud, bukanlah ia penganut mazhab
zahiriyah yang hampir selaras dengan madzab Hanbalinya Ibn Taymiyah.
Keteguhan memegang syariat ia lakukannya sekalipun dapat membahayakan
nyawa diri dan muridnya, seperti diceritakan ketika Ibn ‘Arabi
berjalan-jalan dengan para muridnya dan bertemu dengan rombongan
khalifah. Ia melarang muridnya memulai salam, – sebagaimana kebiasaan
saat itu,- pada rombongan khalifah yang saat itu mengendarai kuda karena
menurut sunnah Nabi pengendara kuda harus memulai salam terlebih dahulu
kepada pejalan kaki. Diantara amalannya yang diajarkan kepada muridnya,
adalah dzikir agung “La ilah illa Allah”, menjaga kelanggengan wudhu,
melarang rukhshah (mencari kemudahan dalam hukum) dan sebagainya.
“Tak kenal maka tak sayang“, mungkin
pepatah ini pantas ditujukan kepada para penentang tasawuf. Mereka
menentang dengan gigih tasawuf karena belum mengenal, mengetahui,
memahami bagaimana ajaran tasawuf sesungguhnya. Namun begitu mereka
mengetahui maksudnya mereka pasti akan mengikuti dan mengamalkannya.
Demikianlah yang terjadi pada para penentang tasawuf, seperti al-Izz ibn
Abd Salam. Konon dahulu ia pernah mengatakan ketika ia masih
mengingkari komunitas sufi, “Apakah ada jalan lain yang kita punyai selain al-Qur’an dan al-Hadits.”
Namun Tuhan menuliskan takdir lain baginya. Ketika berkecamuk
peperangan melawan orang-orang eropa di wilayah Manshurah dekat teluk
Dimyat, para ulama berkumpul. Saat itu Syaikh Izz al-Din bin Abdul
al-Salam, Syaikh Makin al-Din al-Asmar, Syaikh Taqi al-Din bin Daqiq
al-Id dan kawan-kawannya membuat satu majelis. Di majelis itu terjadi
diskusi yang cukup menarik mengenai kitab al-Risalah al-Qusyairiyah
karya al-Qusyairi. masing-masing memberikan komentarnya tentang materi
yang terdapat di kitab itu. ketika sedang seru-serunya acara diskusi
berlangsung, datanglah syaikh Abu al-Hasan al-Syadzily.
Melihat kedatangan al-Syadzily, mereka memanfaatkan sebaik-baiknya
kesempatan itu untuk bertanya kepada al-Syadzily. Salah satu dari mereka
berkata, “Kami ingin mendengar dari anda mengenai maksud yang dikandung
dari beberapa bagian dalam kitab ini.” al-Syadzily kaget mendengar
permintaan itu. Merasa tidak pantas menjawab, al-Syadzily berkata, “Anda
semua adalah orang-orang yang mendapat julukan Syaikh al-Islam dan para
pembesar ulama zaman ini. Anda semua telah memberikan semua komentar
anda, sungguh sudah tidak ada lagi bagi orang seperti ruang untuk
mengomentarinya.”
Mereka tetap mendesak al-Syadzily untuk memenuhi permintaan mereka
itu. Mereka berkata, “Tidak begitu, justru kami tetap ingin mendengar
komentar anda. Silakan berikan komentar anda.” Didesak begitu,
al-Syadzily dengan memuji kepada Allah swt, memulai komentarnya. Di
sela-sela al-Syadzily memberikan komentarnya, tiba-tiba syaikh Izz
al-Din bin Abdul al-Salam menjerit dari dalam kemah dan kemudian keluar
memanggil-manggil dengan suara yang keras, “Kemarilah! Kemarilah! Dengarkan semua apa yang dikatakan al-Syadzily. Ini adalah suatu perkataan yang begitu dekat dengan Allah.“
“Semoga Allah swt menjadikan anda dan kami sebagai golongan
orang-orang yang membenarkan wali Allah swt, dan meyakini
karamah-karamah atas anugerah dan karunia-Nya.” Demikianlah doa Ibn
Arabi dalam korespondensinya dengan Fakhr al-Din al-Razy, penulis tafsir
Mafatih al-Ghayb.
sumber : sufimuda
Saya kadang malu pada pengikut "MUHAMMAD SAW "yg sering menganggap beliua sudah tiada(wafat) bagaimana kamu bisa menghirup udara dan berjalan diatas bumi kalau beliu sudah tiada.
BalasHapus