Rabu, 02 September 2015

SANG KIAI DI DALAM HATI



Pagi ini saya baru selesai menonton sebuah film yang sangat bagus, yaitu film Sang Kiai. Mungkin dari sekian orang, hanya saya yang terlambat untuk mengapresiasi film ini. Hal ini sangat beralasan karena ketika film ini dirilis  awal 2014 lalu saya belum sempat untuk menonton di bioskop atau pun di televisi. 

Baiklah, tentang film ini dan tentang tokoh utama dalam film ini. Kata pertama yang ada dalam pikiran saya ketika menonton film ini adalah sakral. Bagaimana tidak, seorang ulama atau kiai begitu dihormati di kalangan santri dan pengikut-pengikutnya. Penghormatan yang dilakukan santri itu dalam bentuk cium tangan, berbicara dengan halus dan menundukkan kepala, dll. Hal ini menunjukkan betama terhormatnya sosok utama dalam film ini, yang tak lain dan tak bukan adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

Sabtu, 29 Agustus 2015

Aku Hanya Ingin Senyummu



Di mataku, Ia hanya seorang biasa layaknya kaum hawa. Ketika pertama kali bertemu dengannya, tak ada yang terlihat spesial darinya. Jantung ini pun tak meningkatkan denyutnya. Sekilas, matanya biasa saja, hidungnya biasa saja, bibirnya pun juga biasa. Tak ada yang menarik untuk dideskripsikan. 
Hari itu aku ingin mengumpulkan kartu rencana studi ke ruang dosen. Aku tau bakalan mengantar sepucuk surat itu sendiri karena semua temanku sepertinya sudah mengumpulkannya terlebih dahulu. Namun, ternyata ada yang ingin bersama-sama denganku. Orang itu adalah Ia. Ya, kami berdua bersama-sama, tidak ada orang lain. Dan ketika inilah perasaanku mulai aneh. Bagaimana tidak, aku jalan berdua dengan seorang cewek. Aku merasa malu karena dilihat oleh orang-orang, namun aku senang karena ada yang mau menemaniku. Dan, yang tidak aku pahami adalah mengapa denyut jantungku meningkat ketika itu. Itulah yang membuatku merasa sangat aneh. 

Sepanjang jalan menuju fakultas ilmu sosial dan ruang dosen yang jaraknya lumayan jauh, aku mencoba memulai pembicaraan dengan menanyakan beberapa hal agar jantungku tidak semakin cepat. Aku berusaha untuk akrab dengannya. Dia pun menanggapi dengan baik dan positif karena kami tidak punya niat yang buruk. Kami pun menikmati perjalanan itu hingga sampai ke tempat tujuan. Kertu rencana studi milikku sudah bisa dikumpulkan karena Bu Dosen ada di ruangnya. Namun tidak dengannya. Dosen yang mengampunya tidak berada di mejanya. Padahal Ia harus pulang kampung. Akhirnya Ia pun meminta tolong kepadaku untuk mengumpulkan kartunya; Ia titipkan padaku. Seketika itu aku menyanggupinya karena dasar kesetiakawanan dan tanpa mengharap apa pun. Ia apun sangat senang dan berterimakasih kepadaku. Sejenak aku terpaku melihat Ia tersenyum kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku pun  membalasnya. Dan kami pun pulang dan berpisah di jalan.

Kamis, 06 Agustus 2015

PUISI - MUNGKIN

Mungkin
Oleh: Muhamad Rafif Naufal

Mungkin...
tak akan lagi kau temukan sesuatu
yang membuatmu tertawa gembira
yang membuatmu tersenyum manis
bahkan yang membuatmu menangis tersedu

Dan mungkin...
dahulu pernah terasa hangat
saat dekapan erat seakan mengikat
ketika kecupan manis mengikis
duka lara yang sedang melanda

Jumat, 10 April 2015

Ini Bukan Akhir dari Kebersamaan


Di kelas IPS. Ya, Ilmu Pengetahuan Sosial. Saya belajar banyak dari sini. Selain belajar mata pelajaran, saya belajar tentang menikmati kebersamaan. Bagaimana bisa? Selain anak-anaknya yang pinter-pinter, di sini saya merasakan “kepedulian” antar sesama yang sangat kuat. Misalnya, ketika ada satu teman merasa kesulitan, teman yang lain akan membantu; jika satu teman jatuh, teman yang lain akan mengulurkan tangannya; jika satu teman tertinggal, teman yang lain akan menunggu; jika satu teman bersedih, teman yang lain akan mencoba menghibur agar ia bisa tersenyum kembali. Tak heran jika mereka adalah anak-anak sosial yang penuh kepedulian. Hal inilah yang membuat saya bisa berbahagia dan menikmati hidup.